Minggu, 07 Juni 2009

SENGKETA AMBALAT: Sengketa Batas Wilayah Berkelanjutan Antara Negara Serumpun Indonesia dengan Malaysia

Beberapa minggu terakhir ini harian surat kabar, dan media di Indonesia dipenuhi dengan liputan terkait provokasi Kapal Perang Tentara Laut Diraja Malaysia di wilayah laut Ambalat. Pelanggaran batas wilayah teritorial ini mengingatkan kembali ketegangan Indonesia dengan Malaysia pada tahun 2004-2005 di lokasi yang sama hingga kedua negara mengerahkan kekuatan militernya untuk menjaga batas teritorialnya.

Sebenarnya permasalahan ini sudah terjadi sejak lama (sejak dibuatnya peta wilayah oleh Malaysia tahun 1979), dan merupakan peninggalan pemerintah kolonial yang pernah menduduki wilayah di Indonesia dan Malaysia. Dimana peta-peta yang ditinggalkan “colonial masters” tidak pernah jelas dalam penarikan batas wilayah, namun terpaksa digunakan tiap negara di Asia Tenggara setelah negara-negara itu mendapat kemerdekaan. Hal inilah yang berakibat pada muncullah permasalahan hingga saat ini.

Permasalahan Ambalat ini mulai memanas setelah kekalahan Indonesia dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang memeriksa perkara Pulau Sipadan-Ligitan pada 17 Desember 2002 yang kemudian menyerahkan kedua pulau tersebut kepada Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia didakwa "tidak" menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu karena hukum nasional (UU Prp Nomor 4 Tahun 1960) tidak pernah memasukkan pulau itu ke wilayah kita karena tidak pernah ada "penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation)", baik oleh Belanda maupun Indonesia, sementara Inggris dan Malaysia melakukannya. Padahal, jarak kedua pulau itu lebih dekat ke kepulauan Indonesia dibandingkan denganMalaysia.

Dan ketika Malaysia sudah menguasai kedua pulau tersebut mereka beranggapan bahwa, mereka pun dapat menguasai wilayah Ambalat yang kaya akan minyak bumi. Hal ini dimulai dengan pemberian ijin eksplorasi kepada perusahaan minyak Shell, dimana pada area tersebut yaitu wilayah Ambalat Timur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia), Indonesia telah memiliki ijin eksplorasi dengan ENI (Italia) dan Unocal (AS). Yang aneh adalah sebelumnya Shell membuat kontrak dengan Indonesia pada area yang sama, dan setelah kontrak tersebut berakhir digantikan oleh perusahaan minyak lain. Hal ini berkibat pada munculnya dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas). Oleh karenanya pada tahun 2004 Malaysia mengirim kapal perang atau pesawat tempur ke Indonesia, apalagi dengan adanya tindakan provokasi warga kita yang sedang membangun suar di Karang Unarang karena dianggap melanggar batas wilayah laut mereka. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena Karang Unarang adalah suatu low tide elevation (elevasi pasang surut), yang dapat dijadikan titik garis pangkal satu negara. Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak mencari titik-titik terluar dari pulau atau karang terluar untuk dipakai sebagai garis pangkal. Itu berarti Karang Unarang yang letaknya di tenggara Pulau Sebatik (bagian Indonesia) berhak dijadikan baselines baru Indonesia, sebagai pengganti garis pangkal di pulau Sipadan dan Ligitan.

Pada dasarnya yang menjadi bahan perdebatan antara Indonesia dan Malaysia adalah terkait dengan bentuk negara berdasarkan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) tahun 1982. Dimana menurut fakta yang ada menyatakan negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep "Negara Kepulauan" untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982" dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan. Indonesia disebut sebagai negara kepulauan karena Indonesia merupakan negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain, yang mana ketentuan ini diatur dalam Pasal 46 ayat 1 UNCLOS 1982.

Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diatur dalam Pasal 47 ayat 1 UNCLOS 1982 yang kemudian diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Sedangkan Malaysia adalah negara pantai biasa, yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh daerah itu karena ia hanya bisa menarik baselines Negara Bagian Sabah dari daratan utamanya, bukan dari Pulau Sipadan atau Ligitan. Hal ini didasarkan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.

Klaim tumpang-tindih dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai 350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut. Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121 UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai aturan khusus yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang dianggap kecil (relatively small, socially and economically insignificant) tidak akan dianggap sebagai keadaan spesial dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu.

Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Dan peta yang dibuat secara sepihak oleh Malaysia tersebut juga ditolak oleh Filipina dan Thailand yang juga merupakan negara tetangga mereka. Indonesia telah menolak langsung peta itu sejak diterbitkan, karenapenarikan baselines yang tidak jelas landasan hukumnya. Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable solution, seperti digariskan UNCLOS 1982. Penyelesaian setiap sengketa yang berkaitan dengan batas wilayah dalam hukum laut, haruslah diseslesaikan dengan cara damai seperti yang diatur dalam Pasal 279 UNCLOS 1982 dimana disebutkan bahwa :

“Negara-negara peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini harus mencarai penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 piagam tersebut.”

Oleh karenanya merujuk ketentuan tersebut, penyelesaian sengketa ini wajib dilakukan melalui jalan damai, dan pengerahan kekuatan militer hanyalah ditujukan untuk menjaga wilayah perbatasan saja, dan tidak digunakan untuk kepentingan yang lain

Banyak cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Sebetulnya apabila dilihat Indonesia dan Malaysia tidak perlu membawa permasalahan ini ke Mahkamah Internasional, karena sebagai negara anggota ASEAN sebaiknya permasalahan ini diselesaikan menggunakan lembaga untuk menyelesaikan konflik-konflik batas kelautan di Asia Tenggara secara regional. Persoalan mekanisme regional ini (the question of regional conflict resolution) sebenarnya telah berupaya untuk dilembagakan oleh ASEAN melaui gagasan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Security Community (ASC), namun tampaknya hingga kini belum digunakan maksimal. Malaysia dan Indonesia sebaiknya merujuk kedua dokumen resmi itu yang menekankan resolusi konflik secara damai. Kedua negara sebaiknya juga mempertimbangkan implikasi politik regional jika tidak menggunakannya. Adalah suatu ironi besar jika kedua negara mengabaikan dokumen ini sebagai prinsip normatif untuk penyelesaian konflik karena negara-negara ASEAN sebenarnya telah mengikat negara-negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, melalui penandatanganan TAC dan sepakat melembagakan dan mempromosikan ASC.

Apabila perundingan secara bilateral tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut, maka Konvensi menyediakan beberapa badan peradilan, yaitu :

- Tribunal Internasional untuk Hukum Laut;
- Mahkamah Internasional;
- Tribunal Arbitrasi;
- Tribunal Arbitrasi Khusus.

Penyelesaian sengketa Ambalat ini memang seharusnya menggunakan jalan perundingan atau cara damai. Hal ini dikarenakan terkait dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewajibkan setiap negara untuk menyelesaikan sengketa menggunakan cara damai. Dan banyak jalan yang dapat ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia terkait dengan penyelesaiaan sengketa tersebut tanpa dengan menggunakan kekuatan militer. Karena konflik bersenjata hanya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kedua negara dan msyarakatnya, apalagi Indonesia dan Malaysia merupakan negara serumpun. Oleh karenanya Pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan peta batas wilayah yang jelas mengenai batas-batas wilayah Indonesia dengan negara lain, baik itu yang ada di darat maupun dilaut. Selain itu pengelolaan pulau-pulau terluar, wilayah perbatasan dan pengawasan wilayah perbatasan perlu ditingkatakan demi menjaga kedaulatan dan harga diri bangsa Indonesia. Jangan ada lagi wilayah NKRI yang lepas dari Indonesia!!! (FPW)


Kamis, 14 Mei 2009

HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK : BEBERAPA PENGALAMAN INDONESIA SEBAGAI STUDI KASUS


Fungsi Hukum Internasional dalam konteks ilmu hukum, sebagaimana diuraikan dalam berbagai buku teks, dipahami sebagai suatu aturan atau kaedah yang berlaku bagi subyeknya.
Fungsi tersebut sebenarnya merupakan salah satu dari berbagai fungsi Hukum Internasional. Fungsi lain dari Hukum Internasional adalah sebagai instrumen yang digunakan oleh pemerintahan suatu negara untuk mencapai tujuan nasionalnya (international law as instrument of national policy).

Tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana Hukum Internasional dimanfaatkan sebagai instrumen politik oleh negara. Untuk mengkongkritkan permasalahan maka pengalaman Indonesia akan dijadikan sebagai studi kasus. Disini akan diperlihatkan bagaimana negara asing atau organisasi internasional menggunakan Hukum Internasional terhadap Indonesia agar menuruti kehendaknya. Selanjutnya, juga akan diperlihatkan bagaimana Indonesia telah memanfaatkan Hukum Internasional untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Pemanfaatan Hukum Internasional
A. Tiga Bentuk Pemanfaatan
Keberadaan hukum tidaklah dapat dilihat semata-mata sebagai kaedah atau norma yang harus dipatuhi. Dalam praktek dan kenyataan kerap ditemukan situasi dimana hukum dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mencapai suatu kepentingan. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan kerap dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan demi kebaikan ataupun sebaliknya. Hukum juga dijadikan alat pemaksa bagi keinginan penguasa terhadap rakyatnya. Bahkan, hukum dapat dijadikan instrumen oleh penguasa untuk mengubah perilaku masyarakatnya.
Berikut akan dibahasa satu persatu ketiga pemanfaatan Hukum Internasional sebagai instrumen politik.
1. Sebagai Pengubah Konsep
Hukum Internasional sebagai instrumen politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep (selanjutnya disebut “konsep”). Manfaat ini berangkat dari kenyataan bahwa Hukum Internasional dibentuk oleh negara. Oleh karenanya negara dapat memanfaatkan Hukum Internasional untuk mengubah atau memperkenalkan suatu konsep. Konsep ini bila diterima oleh mayoritas masyarakat internasional akan memiliki daya ikat.
2. Sebagai Sarana Intervensi Urusan Domestik
Kedua, Hukum Internasional menjadi instrumen politik bertolak pada keinginan negara demi kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestik negara lain tanpa dianggap sebagai pelanggaran. Untuk keperluan ini sudah tidak dapat lagi ditempuh cara-cara berupa ancaman atau penggunaan kekerasan, ataupun dilakukan atas dasar hubungan antara penjajah dengan pihak yang dijajah.
3. Sebagai Alat Penekan
Terakhir, Hukum Internasional berfungsi sebagai instrumen politik berangkat dari fakta bahwa dalam interaksi internasional negara saling pengaruh mempengaruhi. Negara menggunakan Hukum Internasional untuk menekan negara lain agar mengikuti kebijakannya. Sementara Hukum Internasional juga dimanfaatkan oleh negara yang mendapat tekanan untuk menolak tekanan tersebut.

B. Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Negara Maju terhadap Negara Berkembang
Hukum Internasional dimanfaatkan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk dua hal. Pertama adalah untuk turut terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang. Kedua dalam rangka menekan negara berkembang untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.
Perjanjian internasional akan dirancang oleh negara maju yang esensinya akan berpengaruh pada kebijakan dan hukum nasional dari negara berkembang. Untuk mencegah kebijakan menutup pasar oleh negara berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang berimplikasi pada liberalisasi perdagangan internasional. Untuk mencegah tindakan yang melanggar HAM oleh pemerintahan negara berkembang maka dibuat perjanjian internasional yang melarang tindakan-tindakan tertentu. Demikian pula untuk mencegah kebijakan yang merusak lingkungan hidup akan dirancang suatu perjanjian internasional yang memperhatikan masalah lingkungan hidup.
Pengalaman Indonesia
Indonesia memiliki berbagai pengalaman yang terkait dengan pemanfaatan Hukum Internasional sebagai instrumen politik. Pengalaman ini dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengalaman dimana Indonesia harus mengikuti keinginan masyarakat internasional karena masyarakat internasional memanfaatkan Hukum Internasional (selanjutnya disebut “Pemanfaatan Hukum Internasional Terhadap Indonesia”) dan pengalaman Indonesia dalam memanfaatkan Hukum Internasional (selanjutnya disebut “Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Indonesia”).
a. Pemanfaatan Hukum Internasional Terhadap Indonesia
Banyak kasus yang menunjukkan dimana negara lain atau organisasi internasional menggunakan Hukum Internasional terhadap Indonesia. Hukum Internasional, utamanya perjanjian internasional, digunakan oleh negara maju untuk ‘mengekang’ kebebasan dan kedaulatan Indonesia. Tidak semua perjanjian internasional diikuti oleh Indonesia semata-mata karena kesadaran yang tinggi dari Indonesia atas masalah atau isu tertentu. Tidak sedikit perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia sebagai akibat dari desakan atau tekanan negara maju dan organisasi internasional. Ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap negara maju dan lembaga keuangan internasional yang menyebabkan kerentanan Indonesia untuk memenuhi berbagai desakan dan tekanan.
Hukum Internasional pernah digunakan oleh PBB untuk menekan Indonesia agar bersedia membentuk pengadilan bagi pelaku kejahatan internasional di Timor Timur. Bila tidak maka PBB akan mendirikan peradilan internasional yang disebut International Criminal Tribunal for East Timor (ICTET) yang mirip dengan International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Ancaman pembentukan ICTET berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk mendirikan Pengadilan HAM.
Ada dua kendala utama. Pertama, beberapa perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia gagal ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Kedua, kalaupun ada perjanjian internasional yang ditransformasikan ke dalam produk hukum nasional, transformasi tersebut hanya sampai pada tingkat perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Padahal perubahan peraturan perundang-undangan di kebanyakan negara berkembang, seperti Indonesia, kadang tidak tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Lemahnya penegakan hukum merupakan salah satu dari sejumlah penyebab.
b. Pemanfaatan Hukum Internasional oleh Indonesia
Indonesia dalam banyak kesempatan telah menggunakan Hukum Internasional sebagai instrumen politik. Ada yang berhasil tetapi lebih banyak yang tidak berhasil. Pertama, Indonesia telah memanfaatkan Hukum Internasional untuk memperkenalkan konsep baru demi kepentingan nasionalnya. Dalam konteks ini, Indonesia berhasil memperkenalkan konsep negara kepulauan (archipelagic state). Perjuangan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957. Konsep negara kepulauan berikut berbagai konsekuensinya telah diakomodasi dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Diplomasi dengan Memanfaatkan Hukum Internasional
Uraian tentang bagaimana Hukum Internasional kerap dimanfaatkan sebagai instrumen politik dan merujuk pada pengalaman Indonesia maka satu hal penting yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah Hukum Internasional sebagai instrumen politik sangat penting dalam rangka menjalankan diplomasi. Hukum Internasional sedapat mungkin digunakan sebagai basis dalam menyampaikan argumentasi. Argumentasi yang berbasis hukum, utamanya Hukum Internasional, yang membuat lawan debat memperhatikan dan memaksa mereka untuk bersikap hati-hati.
Disini penting bagi para diplomat Indonesia untuk dibekali dengan pengetahuan Hukum Internasional sehingga dalam berargumentasi, menyampaikan pendapat bahkan meyakinkan diplomat atau pemerintah negara lain. Ini telah dilakukan oleh para diplomat dari negara maju. Bahkan negara maju sering memanfaatkan ketrampilan para ahli Hukum Internasional untuk membenarkan tindakan yang dilakukan.
Para diplomat negara barat biasanya memiliki kemampuan merancang sehingga produk hukum harus dibaca secara hati-hati. Adigium yang mengatakan bahwa “you have to read between the lines” dalam membaca suatu perjanjian menunjukkan betapa pentingnya kemampuan membaca dokumen hukum bagi para diplomat. Ini tidak berarti memasalahkan teks secara berlebihan, tetapi para diplomat harus pandai membaca apa yang dikandung dalam teks hukum dan melihat jebakan-jebakan yang mungkin ada. Jangan sampai di kemudian hari bila perjanjian internasional digunakan sebagai argumentasi oleh lawan untuk memojokkan posisi Indonesia, akan dipersalahkan mereka yang terlibat dalam perundingan. Tanpa diplomat yang memiliki kemampuan ini sulit mengharapkan peran diplomasi yang optimal.
Sudah saatnya Indonesia lebih aktif dalam memanfaatkan Hukum Internasional sebagai instrumen politik untuk mencapai kepentingan nasionalnya*. (Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M, Ph.D ,Disarikan dari Pidato Dies Natalis ke-39 Universitas Pancasila)

Jumat, 08 Mei 2009

KRISIS MYANMAR : PERENUNGAN UNTUK ASEAN

Tepat awal bulan Oktober 2007 komunitas ASEAN dan Internasional dikejutkan dengan tragedi kemanusiaan di Myanmar

Dengan arogansinya junta militer Myanmar membubarkan demonstrasi damai yang dilakukan oleh para biksu, bahkan hal ini menimbulkan korban jiwa serta korban luka-luka cukup banyak. Hingga saat ini ratusan biksu serta masyarakat pro demokrasi ditahan oleh junta militer baik dalam kuil-kuil maupun penjara-penjara dadakan. Komunitas internasional berseru kencang kepada junta militer untuk segera mengakhiri perbuatanya. Tidak lebih utusan PBB Moh Gambari telah bernegosiasi dengan pihak junta, pro demokrasi serta pihak-pihak terkait lainya (Cina dan ASEAN). Namun setelah krisis berlangsung hampir 1 bulan, perkembangan signifikan yang terjadi hanya pencabutan jam malam di myanmar oleh pihak junta

PERAN ASEAN

Timbul pertanyaan dimana dan sejauh mana peran ASEAN dalam menangani kasus semacam ini, banyak kalangan yang menyesalkan sikap “lemah” ASEAN dalam menghadapi junta Myanmar. Namun demikian kita tidak serta merta dapat menyalahkan akan sikap ASEAN ini, karena ASEAN sudah berjalan pada koridor hukum yang telah ditetapkan secara bersama. Dalam deklarasi Bangkok telah ditetapkan bahwa penyelesaian krisis dalam tubuh ASEAN dilakukan secara komunikatif, serta non-intervensi antar negara. Hal inilah yang membuat ASEAN tidak dapat bersikap keras seperti memberikan sangsi ataupun ancaman, hal terkeras yang dapat diberikan ialah berupa kecaman-kecaman yang dikeluarkan oleh para pemimpin negara atas nama pemerintahan dan bukan ASEAN.

PERENUNGAN UNTUK ASEAN

Salah satu hal yang menjadi penyebabnya ialah lemahnya konstruksi ASEAN dalam bidang kesatuan. Secara nyata ASEAN disatukan oleh wilayah geografis dan beberapa kesamaan kultural dan ras, hal ini sejak dahulu selalu dibanggakan oleh komunitas ASEAN. Namun kenyataanya hal tersebut tidak berguna pada saat ASEAN menghadapi masalah-masalah antar negara ASEAN sendiri.

Pada kasus myanmar, negara-negara ASEAN bahkan tidak dianggap oleh myanmar yang saat ini lebih condong ke Cina dan India sebagai sekutunya. Hal ini membuktikan bahwa kesamaan geografis ASEAN tidak berlaku. Contoh lainya ialah perseteruan Malaysia dengan Indonesia, slogan “Bangsa Serumpun” yang selalu dikibarkan tidak mampu menyelesaikan krisis pencitraan antar kedua negara tersebut.

Dibandingkan Uni Eropa, ASEAN terlihat sangat tidak solid. Uni Eropa yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan jauh lebih solid dalam menghadapi masalah-masalah internal. Dari awal Uni Eropa memang dibentuk untuk sebagai suatu kerjasama bidang ekonomi (pada saat itu diberi nama European Coal dan Steel Community), sehingga walaupun mereka dipisahkan batas-batas geografis serta perbedaan kebudayaan yang ada, mereka tetap satu kepentingan yaitu kepentingan ekonomi regional. Hal ini sangat penting untuk menjadi bahan perenungan bagi ASEAN, apalagi dalam waktu dekat ini ASEAN akan segera meresmikan konstitusi/anggaran dasarnya. Maka setiap negara anggota ASEAN patut bertanya; Apakah ASEAN sudah memiliki satu kepentingan dan tujuan bersama? (NN)